Sedikit dendam dalam dadaku mereda setelah
mendengar saran yang disampaikan dengan apik sekali oleh Abang Toni dan Tulang
Alex. Mereka merupakan tutor setiaku di dalam semua perjalanan hidup yang
kulalui. Tulang (panggilan Paman dalam bahasa Batak) Alex merupkan sesosok pria
dengan senyum manis, dengan sedikit jenggot uban dan rambut lurus yang rapi. Seingatku,
Beliau merupakan orang perantauan dari Sumatera Barat kelahiran tahun 1954.
Tubuhnya yang tambun dan agak tinggi itu menunjukkan bahwa ia merupakan orang
dengan fisik yang sangat baik pada masa mudanya, begitu pula kini. Aku selalu
terkesima setiap ia menunjukkan senyum simpulnya padaku.
Berbeda dengan Tulang Alex, Abang Toni adalah
pedagang nasi kuning di pinggiran Jalan Imam Bonjol, Denpasar. Beliau
berperawakan agak pendek, dengan tubuh yang sangat kuat dan kekar. Maklumlah,
berbagai pekerjaan “kasar” telah digelutinya semenjak awal perantauannya, mulai
dari kuli bangunan, tukang angkat pokok kayu dan kernet angkutan kota pun telah
ia jalani. Rambutnya yang cepak, senyum “iblis” yang memesona, dan tato
“Sangkur Bersayap” di lengan kanannya selalu menarik perhatianku. Beliau juga
sangat ramah dan piawai mengolah kata. Terang saja, beliau merupakan orang
Medan asli. Dan kita semua tahu, bahwa banyak pengacara handal berasal dari
Kota Medan.
Tidak seperti biasanya, aku selalu mengajak
pacarku atau sahabat karibku mengunjungi Abang Toni, kali itu aku bersama Adikku.
Aku baru saja mengantar Adikku menukar kupon Bazaar di salah satu restoran
waralaba terkenal di dunia. Semula aku ingin mengajak Adikku untuk bermain Playstation, namun melintasi jalan di
sekitar tempat Abang Toni berdagang, terbersit keinginanku untuk menyambangi
Abang Toni.
Seketika aku melihat Tulang Alex sedang duduk
di atas kursi merah yang biasa digelar Abang Toni. Mereka berdua sedang asyik
bercengkrama satu sama lain. Lalu aku datang, mengucapan salam pada mereka
berdua, lalu duduk di kursi kosong di dekat Tulang Alex. Aku lalu
berbincang-bincang dengan Tulang Alex sekenanya saja. Dan seperti biasa aku
mulai menanyakan semua masalah hidup yang ingin kuselesaikan.
Aku selalu suka saat mereka berdua bertandem
untuk menjawab semua pertanyaanku. Mulai dari pertanyaan seputar perbuatan
baik, hingga hubungan harmonis dengan Tuhan dan orangtua, merea jawab dengan
bijaksana. Namun ada beberapa hal yang sangat kuingat dalam percakapan waktu
itu.
“Dalam
hidup, hendaklah kita selalu menanamkan perbuatan baik dalam hati ini. Jika
terus menerus dilatih, niscaya akan menjadi kebiasaan. Contohnya, saat menolong
orang. Ikhlaslah dalam melakukan semua itu. Kalaupun engkau pamrih, pamrihlah pada
Yang Maha Kuasa. Jika kau lakukan itu, cepat atau lambat pertolongan Tuhan akan
menghampiri engkau, entah dari siapa atau darimana.”
Itulah kesimpulan yang aku dapatkan saat
berbincang-bincang dengan mereka pada momen pertama. Sejenak terdengar sepele,
namun itu benar adanya. Jujur kuakui, hidupku tidak pernah tenang apabila kita
berbuat sesuatu yang melanggar ajaran Tuhan. Sebagai contoh, bohong telah menjadi
kebiasaanku. Entah pada orangtua, pacar, sahabat, rekan, bahkan diriku
sendiripun aku bohongi. Sejenak memang terlihat sangat apik, semua cerita
terlihat sesuai skenario. Namun aku sadar, ternyata setiap kebohongan yang aku
ucapkan, akan menarik kebohongan-kebohongan lainnya. Jadi ibarat kata menyusun
rel kereta api dengan besi baja, kita tidak akan bisa merampungkan rel itu
apabila kita meletakkan plastik atau karet pada akhirnya. Begitulah kebohongan,
tidak akan bisa diselesaikan dengan indah tanpa kebohongan lainnya.
“Jika
kita telusuri lebih dalam, hidup ini tidak ubahnya seperti bersekolah. Kita
adalah muridnya, sedangkan Tuhanlah guru kita. Hendaklah kita selalu fokus pada
tujuan kita, yaitu naik kelas dan lulus. Jika kita malas belajar, membuat tugas
dan mengikuti ujian, maka jeleklah nilai kita. Namun apabila sebaliknya, dapat
dipastika nilai kita akan bagus. Hal ini terjadi karena Tuhan selalu
memperhatikan kita. Dan yang paling penting, hasil yang kita peroleh adalah
hasil dari apa yang telah kita lakukan sebelumnya. Ingat, apa yang kita
lakukan, kitalah yang menerima hasilnya, bukan orang lain.”
Aku selalu kagum dengan pemikiran kedua orang
ini. Pernah suatu hari aku mengobrol dengan Abang Toni mengenai latar belakang
pendidikannya. Aku sempat terkejut saat ia mengaku tidak lulus Sekolah Dasar
akibat menendang gurunya (maaf ya, hal ini jangan ditiru, Tidak Baik!!!). Namun
bukan itu yang kupermasalahkan. Yang menjadi titik kekagumanku adalah saat ia
menjawab semua pertanyaanku, yang aku dapatkan bukanlah jawaban dari orang
sembarangan. Semua pertanyaanku dijawab dengan bijak dan rapi. Setiap kata yang
keluar dari bibirnya sangat padu dengan intonasi dan mimik mukanya. Dan itupun
berhasil membuatku merenung atas semua jawabannya. Dan yang paling aku sukai,
saat ia memainkan jurus andalannya, yaitu berumpama. Andai ini, andai itu,
andai-andainya semua terdengar elok sekali di telingaku. Kata-kata “Hidup ini seperti bersekolah” adalah
salah satu karyanya. Tidak pernah terpikir olehku jalan pikirannya akan ke arah
itu. Dan sempat ku berkelakar, bahwa ia harusnya jadi pengacara, bukannya jadi
penjual Nasi Kuning. Dan kalaupun ia tetap menjadi seorang pedagang Nasi
Kuning, mestinya ia menamainya “Nasi Kuning Pengacara”.
“Kita
dilahirkan oleh Tuhan untuk bekerja. Coba saja, orang yang tidak bekerja untuk
beberapa lama akan merasa tidak tenang dalam hidupnya, karena ia menetang
peraturan Tuhan. Karena Tuhan menciptakan kita untuk bekerja, maka
sepantasnyalah kita bekerja sepanjang hayat, tanpa mengenal kata PENSIUN.”
Untuk kata-kata yang satu ini, aku
benar-benar trenyuh. Bagaimana tidak,
Ayahku sendiri sudah tidak bekerja lagi untuk waktu yang cukup lama. Aku tidak
tahu pasti sudah berapa lama Ayahku tidak bekerja lagi, namun yang aku ketahui
dengan pasti, ia sudah tidak bekerja semenjak bertahun-tahun pasca berhenti dari
Jepang. Sebelum bekerja di Jepang, Ayahku adalah seorang Bartender. Aku
benar-benar menyimak kata yang terucap dengan baik dan saksama. Dalam hatiku,
semoga aku bisa menerapkan kata-kata ini pada Ayahku.
Sebenarnya aku agak kasihan melihat Ayahku
yang harus aku “paksa” untuk bekerja kembali. Namun banyak orang, baik itu
keluargaku, teman-temankku sendiri, orangtua temanku dan beberapa orang yang
dekat denganku menyesalkan keadaan ini. Mereka mengatakan bahwa Ayahku akan
menjadi lebih baik apabila bekerja daripada tidak bekerja. Akupun berpendapat
demikian, karena mengutip kata Tulang Alex bahwa kita memang harus bekerja
selama kita masih bisa. Namun Ayahku memiliki segenap alasan kuat. Pertama, ia
mengatakan bahwa ia sudah terlalu tua, sehingga tidak akan ada lagi perusahaan
yang mau menerimanya. Kedua, ia sudah terlalu lemah. Ketiga, Adikku masih kecil
dan harus ada yang mengurusinya. Keempat, kelima, keenam, ketujuh dan banyak
lagi alasan yang dapat ia lontarkan lagi.
Ini yang aku sesalkan. Bukannya aku ingin
memaksakan Ayahku untuk bekerja, namun banyak orang yang kutanyai berpikiran
serupa denganku. Mereka, dan tentu saja aku, ingin sekali melhat Ayahku
bekerja. Namun Ayahku tampak terlalu asyik larut dalam kepercayaannya, bahwa ia
sudah sangat tua dan tidak mampu bekerja lagi. Aku mungkin belum pernah menyarankan
Ayahku sendiri untuk bekerja, namun aku tahu, ia pasti menolak. Kata Tulang
Alex, orang yang sejenis ini sangat sensitif, gampang marah, cepat tersinggung
serta merasa digurui apabila diberi saran untuk bekerja. Jadi aku memilih untuk
menunda untuk menyarankannya.
Jika boleh aku jujur, aku sebenarnya sangat
terpkul dengan kondisiku seperti ini. Keluargaku kecil, dengan 4 anggota, yaitu
Aku; Ayah; Ibu dan Adikku. Di keluarga ini hanya Ibuku saja yang bekerja,
sementara aku masih sibuk dengan kuliahku. Sementara ada hutang yang mesti
dibayar. Ayahku sudah mewanti-wanti aku untuk segera bekerja, namun aku belum
terlalu yakin, apakah aku akan bisa menyelesaikan semuanya, baik bekerja dan
kuliahku. Mestinya Ayah yang bekerja, namun kembali lagi karena prinsip “Tua
dan Lemah”nya itu, ia tidak bisa bekerja lagi. Bukannya tidak bisa, tapi lebih
tepatnya lagi, “Tidak Mau”.
Aku takut dengan masa depan Ayahku. Lihat
saja, ia tidak bekerja lagi. Kerjanya hanya diam di rumah, memasak, membenahi
rumah, mengurus Adikku dan segala pekerjaan Ibu rumah tangga lainnya. Ayahku
bukannya malas, hanya saja pekerjaannya tidak cocok dengannya. Selain itu,
belum pernah aku lihat teman atau kerabatnya mampir ke rumah untuk sekadar
mengobrol atau minum kopi. Seolah-olah ia sudah “Mati” di dalam hidupnya.
Andai saja Ayahku membaca tulisan ini, ia
pasti akan mencariku dan membunuhku. Bayangkan saja, jangankan untuk menyindir Ayahku
dengan tulisan ini, berteman dengan orang yang paling bisa menjadi temanku saja
aku tidak boleh. Aku bisa bayangkan apabila ia membaca tulisan ini, ia akan
marah seolah-olah mengetahui aku menghamili pacarku di luar nikah, dan tidak
hanya satu, tapi EMPAT pacar sekaligus..!! Namun itulah yang aku cari. Aku
ingin ia marah padaku terlebih dahulu, lalu melampiaskan semua amarahnya padaku
sebelum ia marah dan melampiaskan semua kemarahannya pada dirinya sendiri. Aku
hanya takut, ia menyesali semua perbuatannya setelah semua ini terjadi. Sebagai
anak, aku hanya ingin Ayahku berubah, kembali ke sosok Ayah yang baik. Yang
selalu bersemangat dalam bekerja,
bukannya menghindari pekerjaan. yang selalu merasa sanggup melakukan semua
sesuatu, bukannya merasa lemah dan tua. Yang memberikan tanggungjawab dan
kesempatan belajar pada anak-anaknya, bukannya membatasi anaknya dan membunuh
mental mereka. Yang memiliki teman untuk berbagi, bukannya tanpa sahabat
satupun yang ada. Aku ingin Ayahku bahagia.
Aku sadar, sisa hidup Ayahku mungkin tidak
lama lagi. Untuk itulah, sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya, aku ingin
membuatnya merasa menjadi seorang pria yang baik, terutama menjadi sorang Ayah
yang baik. Aku ingin Ayahku membuka batinnya, bahwa ia adalah lelaki hebat,
bukan lelaki lemah seperti kebanyakan pemikiran orang-orang di sekitarnya. Aku
ingin Ayahku membangun mentalku, bukan membunuhnya. Dan pada akhirnya, pada
saat akhir hayatnya, yang aku inginkan adalah seorang Ayah yang menutup mata
dengan bahagia, dengan sejuta kisah manis yang tertinggal untuk istri dan
anak-anaknya, yang terpatri di dalam hati setiap orang bahwa ia adalah lelaki
hebat, lelaki tangguh. Dan aku berharap saat ia menutup mata nanti, istri,
anak-anak, dan segenap orang di sekitarnya mengikhlaskan Ayahku dengan senyuman
dan cerita bangga, bukan dengan gunjingan dan kesan kelam masa lalunya.
Untuk itulah aku ingin menjadi anak yang
berguna. Dengan berbekal keyakinan bahwa doa seorang anak yang menginginkan
sesuatu yang baik untuk Ayahnya pastilah ditanggapi serius oleh Sang Pencipta,
aku ngin membahagiakan hidupnya di saat-saat terakhr. Bukan hanya dengan sebuah
rumah mewah, penghasilan melimpah dan mobil yang tumpah ruah, namun dengan
kasih sayang seorang anak pada Ayahnya, sebagaimana kasihnya padaku.
Ayah, kini aku berdoa....
Tuhan
Yang Baik, bukakanlah hati Ayahku. Aku tidak memaksa Ayahku untuk bekerja
kembali, namun aku ingin Kau memberitahunya bahwa ia adalah lelaki hebat. Aku
percaya akan Kuasa-Mu yang sanggup membukakan hati Ayahku yang tengah larut
dalam masa kelamnya.....
Berikanlah
ia sisa waktu yang membahagiakan. Sadarkanlah ia bahwa kebahagiaan terbesar
bukanlah materi. Terangkanlah jalannya. Sayangi ia, selayaknya Ayahku
menyayangiku. Kasihilah ia, sebagaimana Ayahku mengasihiku......
Tuhan
Yang Bijak, aku tahu selama hidupku, aku selalu bersalah pada Ayah. Aku selalu
berbohong, berdusta, menyangkal, dan berburuk sangka pada Ayahku. Maafkanlah
aku, Tuhan. Namun yang lebih utama bagiku, maaafkanlah semua kekeliruan yang
telah ia perbuat. Aku tahu, ia adalah lelaki baik. Maka dari itu, berbaiklah
padanya............
Tuhan,
biarkan rasa kasihku pada Ayah tak terpampang jelas di pelupuk matanya. Dan
pada saatnya nanti, perlihatkanlah rasa kasihku padanya, sehingga ia tahu apa
yang aku rasakan........
Dan
yang terakhir Tuhan...
Jangan
teteskan air matanya apabila rasa kecewa yang ia dapat setelah membaca
tulisanku ini, namun boleh Engkau teteskan air matanya apabila rasa haru yang
ia dapatkan setelahnya.....
Untukmu Ayah...
Aku menyayangimu...