Kadang hidup kita ini
terasa begitu complicated. Aku
sendiri, yang notabene masih ingin bersenang-senang di usiaku yang akan
menginjak 21 tahun di bulan September ini, malah dibebani masalah yang benar-benar rumit.
Bayangkan saja, adikku
yang sekarang masih berada di kelas IV Sekolah Dasar, menuntut biaya pendidikan
yang lebih tinggi. Orangtuaku, hanya Ibu yang bekerja. Sedangkan Ayahku hanya
terdiam di rumah selama bertahun-tahun pasca di-PHK dari tempat kerjanya
dahulu. Aku benar-benar merasa kelimpungan saat malam ini, saat yang mestinya
membahagiakan (mengingat pacarku sedang berulangtahun yang ke-21), malah
dibebani beberapa hal yang cukup krodit.
“Kamu sekarang menjadi tulang punggung keluarga. Sudah nggak saatnya
lagi kamu ikut-ikutan ngeluyur ke sana ke mari dengan teman-temanmu. Kamu harus
bisa berpikir cerdas. Di usiamu yang sudah begini, jangan hanya memikirkan
kepentinganmu saja. Masih ada kami, orangtuamu dan adikmu yang harus kamu
tanggung. Carilah pekerjaan yang dapat menghasilkan banyak uang. Apa kamu nggak
malu, melihat rumah kita di kampung masih berantakan? Nanti kalau kamu menikah,
malu dong punya rumah yang berantakan seperti itu. Kasihan Ibumu, dia bekerja
hanya untuk menghidupi kita. Bantulah ia, jangan hanya keluyuran di tengah
malam begini....”
“Kalau
kamu masih ikut-ikutan dengan teman-temanmu itu, kamu pasti ketinggalan kereta
nantinya. Jadi anak muda, berpikirlah cerdas. Carilah setiap kegiatan yang
menghasilkan uang. Teman-temanmu itu, orangtuanya semua bos. Jangan tiru
semuanya itu.”
Dan segenap kata-kata
anjuran, yang lebih mengarah pada paksaan lainnya, mulai mengalir lancar dari
bibir seorang Ayah...
Intinya, dapat aku
simpulkan bahwa Ayah “memaksaku” untuk bekerja, padahal aku baru saja ingin
bermain. Itu jika dilihat dari perspektif seorang anak yang “Kehilangan” masa
kecilnya.
Namun di perspektif
orangtuaku, aku bisa menangkap penuh isi otak Ayah. Ayah ingin segera
“Berhenti” dan melimpahkan “Beban”nya padaku, karena aku telah dewasa.
Semua serba benar, dan
semua serba salah. Tergantung dari sudut pandang mana kita memandang. Namun hal
ini yang dapat mengubah pola pikirku.
Kau tahu? Setelah
mendengarkan ceramah dini hari ini, aku dapat menarik simpulan atas semuanya.
Yap! Aku harus bekerja,
mencari uang untuk Ayah, membangun rumah, membeli mobil dan segala aset yang
bernilai ekonomis. Hanya itu!
Ayah butuh uang, entah
bagaimana caranya! Dan aku tidak terlalu mementingkan sisi material sebuah
benda. Memang, setiap orang perlu uang, namun tidak semua masalah dapat
terselesaikan dengan uang.
Bisakah kita membeli
kebahagiaan dengan Uang? Bisa saja, tapi tidak semua.
Bisakah kita membantu
orang dengan Uang? Bisa saja, tapi tidak semua.
Bisakah kita membeli usia
dengan Uang? Tentu saja bisa, bisa-bisanya kamu saja.
Itulah akar perbedaan
kami, Ayah dan Anak. Anak yang bersifat Idealis dan Ayah yang bersifat
Ortodoks. Semua yang beliau lakukan padaku hanya menanamkan konsep “Hidup Lebih
Berharga Kalau Kita Kaya Raya”. Aku sangat anti dengan prinsip seperti itu. Siapapun
yang menanamkan prinsip itu, baik saudara sendiri atau AYAH sekalipun, akan
kuanggap MUSUH! Dan setiap musuhku akan kuberikan Rasa DENDAM!
Dan aku berjanji, DENDAM
itu akan kuubah menjadi UANG yang sangat Ayah inginkan! Bahkan di kepalaku
sudah ada bayangan bahwa aku akan melamar dua, bahkan tiga pekerjaan sekaligus.
Hasilnya, akan kugunakan sebagian untuk hidupku, hidup adikku dan pacarku. Lalu
sisanya?
Kuberikan pada Ayah dalam
bentuk DENDAM!
Akan kuberikan pada Ayah
apa yang Ayah inginkan! Setiap lembarnya akan kuselipkan sedikit rasa DENDAMku.
Hingga pada akhirnya, Ayah akan mengetahui bahwa UANG tidak selalu membawa
KEBAHAGIAAN.
Terlebih apabila UANG yang
diperoleh dibumbui dengan DENDAM seorang anak...
Kalian tahu, apa DENDAMku?
Ayah hanya memberi UANG
padaku, tanpa disertai EMOSI layaknya yang harus diberikan orangtua kepada
anaknya. Dan aku akan melakukan hal serupa..
Sampai kapan?
Sampai DENDAM ini merasa
cukup adil....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar