Kamis, 13 September 2012

DENDAM


Kadang hidup kita ini terasa begitu complicated. Aku sendiri, yang notabene masih ingin bersenang-senang di usiaku yang akan menginjak 21 tahun di bulan September ini, malah dibebani masalah yang  benar-benar rumit.
Bayangkan saja, adikku yang sekarang masih berada di kelas IV Sekolah Dasar, menuntut biaya pendidikan yang lebih tinggi. Orangtuaku, hanya Ibu yang bekerja. Sedangkan Ayahku hanya terdiam di rumah selama bertahun-tahun pasca di-PHK dari tempat kerjanya dahulu. Aku benar-benar merasa kelimpungan saat malam ini, saat yang mestinya membahagiakan (mengingat pacarku sedang berulangtahun yang ke-21), malah dibebani beberapa hal yang cukup krodit.
Kamu sekarang menjadi tulang punggung keluarga. Sudah nggak saatnya lagi kamu ikut-ikutan ngeluyur ke sana ke mari dengan teman-temanmu. Kamu harus bisa berpikir cerdas. Di usiamu yang sudah begini, jangan hanya memikirkan kepentinganmu saja. Masih ada kami, orangtuamu dan adikmu yang harus kamu tanggung. Carilah pekerjaan yang dapat menghasilkan banyak uang. Apa kamu nggak malu, melihat rumah kita di kampung masih berantakan? Nanti kalau kamu menikah, malu dong punya rumah yang berantakan seperti itu. Kasihan Ibumu, dia bekerja hanya untuk menghidupi kita. Bantulah ia, jangan hanya keluyuran di tengah malam begini....”
“Kalau kamu masih ikut-ikutan dengan teman-temanmu itu, kamu pasti ketinggalan kereta nantinya. Jadi anak muda, berpikirlah cerdas. Carilah setiap kegiatan yang menghasilkan uang. Teman-temanmu itu, orangtuanya semua bos. Jangan tiru semuanya itu.
Dan segenap kata-kata anjuran, yang lebih mengarah pada paksaan lainnya, mulai mengalir lancar dari bibir seorang Ayah...

Intinya, dapat aku simpulkan bahwa Ayah “memaksaku” untuk bekerja, padahal aku baru saja ingin bermain. Itu jika dilihat dari perspektif seorang anak yang “Kehilangan” masa kecilnya.
Namun di perspektif orangtuaku, aku bisa menangkap penuh isi otak Ayah. Ayah ingin segera “Berhenti” dan melimpahkan “Beban”nya padaku, karena aku telah dewasa.
Semua serba benar, dan semua serba salah. Tergantung dari sudut pandang mana kita memandang. Namun hal ini yang dapat mengubah pola pikirku.
Kau tahu? Setelah mendengarkan ceramah dini hari ini, aku dapat menarik simpulan atas semuanya.
Yap! Aku harus bekerja, mencari uang untuk Ayah, membangun rumah, membeli mobil dan segala aset yang bernilai ekonomis. Hanya itu!
Ayah butuh uang, entah bagaimana caranya! Dan aku tidak terlalu mementingkan sisi material sebuah benda. Memang, setiap orang perlu uang, namun tidak semua masalah dapat terselesaikan dengan uang.
Bisakah kita membeli kebahagiaan dengan Uang? Bisa saja, tapi tidak semua.
Bisakah kita membantu orang dengan Uang? Bisa saja, tapi tidak semua.
Bisakah kita membeli usia dengan Uang? Tentu saja bisa, bisa-bisanya kamu saja.
Itulah akar perbedaan kami, Ayah dan Anak. Anak yang bersifat Idealis dan Ayah yang bersifat Ortodoks. Semua yang beliau lakukan padaku hanya menanamkan konsep “Hidup Lebih Berharga Kalau Kita Kaya Raya”. Aku sangat anti dengan prinsip seperti itu. Siapapun yang menanamkan prinsip itu, baik saudara sendiri atau AYAH sekalipun, akan kuanggap MUSUH! Dan setiap musuhku akan kuberikan Rasa DENDAM!
Dan aku berjanji, DENDAM itu akan kuubah menjadi UANG yang sangat Ayah inginkan! Bahkan di kepalaku sudah ada bayangan bahwa aku akan melamar dua, bahkan tiga pekerjaan sekaligus. Hasilnya, akan kugunakan sebagian untuk hidupku, hidup adikku dan pacarku. Lalu sisanya?
Kuberikan pada Ayah dalam bentuk DENDAM!
Akan kuberikan pada Ayah apa yang Ayah inginkan! Setiap lembarnya akan kuselipkan sedikit rasa DENDAMku. Hingga pada akhirnya, Ayah akan mengetahui bahwa UANG tidak selalu membawa KEBAHAGIAAN.
Terlebih apabila UANG yang diperoleh dibumbui dengan DENDAM seorang anak...
Kalian tahu, apa DENDAMku?
Ayah hanya memberi UANG padaku, tanpa disertai EMOSI layaknya yang harus diberikan orangtua kepada anaknya. Dan aku akan melakukan hal serupa..


Sampai kapan?
Sampai DENDAM ini merasa cukup adil....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar