Kamis, 13 September 2012

UNTUK AYAH


Sedikit dendam dalam dadaku mereda setelah mendengar saran yang disampaikan dengan apik sekali oleh Abang Toni dan Tulang Alex. Mereka merupakan tutor setiaku di dalam semua perjalanan hidup yang kulalui. Tulang (panggilan Paman dalam bahasa Batak) Alex merupkan sesosok pria dengan senyum manis, dengan sedikit jenggot uban dan rambut lurus yang rapi. Seingatku, Beliau merupakan orang perantauan dari Sumatera Barat kelahiran tahun 1954. Tubuhnya yang tambun dan agak tinggi itu menunjukkan bahwa ia merupakan orang dengan fisik yang sangat baik pada masa mudanya, begitu pula kini. Aku selalu terkesima setiap ia menunjukkan senyum simpulnya padaku.
Berbeda dengan Tulang Alex, Abang Toni adalah pedagang nasi kuning di pinggiran Jalan Imam Bonjol, Denpasar. Beliau berperawakan agak pendek, dengan tubuh yang sangat kuat dan kekar. Maklumlah, berbagai pekerjaan “kasar” telah digelutinya semenjak awal perantauannya, mulai dari kuli bangunan, tukang angkat pokok kayu dan kernet angkutan kota pun telah ia jalani. Rambutnya yang cepak, senyum “iblis” yang memesona, dan tato “Sangkur Bersayap” di lengan kanannya selalu menarik perhatianku. Beliau juga sangat ramah dan piawai mengolah kata. Terang saja, beliau merupakan orang Medan asli. Dan kita semua tahu, bahwa banyak pengacara handal berasal dari Kota Medan.
Tidak seperti biasanya, aku selalu mengajak pacarku atau sahabat karibku mengunjungi Abang Toni, kali itu aku bersama Adikku. Aku baru saja mengantar Adikku menukar kupon Bazaar di salah satu restoran waralaba terkenal di dunia. Semula aku ingin mengajak Adikku untuk bermain Playstation, namun melintasi jalan di sekitar tempat Abang Toni berdagang, terbersit keinginanku untuk menyambangi Abang Toni.
Seketika aku melihat Tulang Alex sedang duduk di atas kursi merah yang biasa digelar Abang Toni. Mereka berdua sedang asyik bercengkrama satu sama lain. Lalu aku datang, mengucapan salam pada mereka berdua, lalu duduk di kursi kosong di dekat Tulang Alex. Aku lalu berbincang-bincang dengan Tulang Alex sekenanya saja. Dan seperti biasa aku mulai menanyakan semua masalah hidup yang ingin kuselesaikan.
Aku selalu suka saat mereka berdua bertandem untuk menjawab semua pertanyaanku. Mulai dari pertanyaan seputar perbuatan baik, hingga hubungan harmonis dengan Tuhan dan orangtua, merea jawab dengan bijaksana. Namun ada beberapa hal yang sangat kuingat dalam percakapan waktu itu.

Dalam hidup, hendaklah kita selalu menanamkan perbuatan baik dalam hati ini. Jika terus menerus dilatih, niscaya akan menjadi kebiasaan. Contohnya, saat menolong orang. Ikhlaslah dalam melakukan semua itu. Kalaupun engkau pamrih, pamrihlah pada Yang Maha Kuasa. Jika kau lakukan itu, cepat atau lambat pertolongan Tuhan akan menghampiri engkau, entah dari siapa atau darimana.”
Itulah kesimpulan yang aku dapatkan saat berbincang-bincang dengan mereka pada momen pertama. Sejenak terdengar sepele, namun itu benar adanya. Jujur kuakui, hidupku tidak pernah tenang apabila kita berbuat sesuatu yang melanggar ajaran Tuhan. Sebagai contoh, bohong telah menjadi kebiasaanku. Entah pada orangtua, pacar, sahabat, rekan, bahkan diriku sendiripun aku bohongi. Sejenak memang terlihat sangat apik, semua cerita terlihat sesuai skenario. Namun aku sadar, ternyata setiap kebohongan yang aku ucapkan, akan menarik kebohongan-kebohongan lainnya. Jadi ibarat kata menyusun rel kereta api dengan besi baja, kita tidak akan bisa merampungkan rel itu apabila kita meletakkan plastik atau karet pada akhirnya. Begitulah kebohongan, tidak akan bisa diselesaikan dengan indah tanpa kebohongan lainnya.

Jika kita telusuri lebih dalam, hidup ini tidak ubahnya seperti bersekolah. Kita adalah muridnya, sedangkan Tuhanlah guru kita. Hendaklah kita selalu fokus pada tujuan kita, yaitu naik kelas dan lulus. Jika kita malas belajar, membuat tugas dan mengikuti ujian, maka jeleklah nilai kita. Namun apabila sebaliknya, dapat dipastika nilai kita akan bagus. Hal ini terjadi karena Tuhan selalu memperhatikan kita. Dan yang paling penting, hasil yang kita peroleh adalah hasil dari apa yang telah kita lakukan sebelumnya. Ingat, apa yang kita lakukan, kitalah yang menerima hasilnya, bukan orang lain.”
Aku selalu kagum dengan pemikiran kedua orang ini. Pernah suatu hari aku mengobrol dengan Abang Toni mengenai latar belakang pendidikannya. Aku sempat terkejut saat ia mengaku tidak lulus Sekolah Dasar akibat menendang gurunya (maaf ya, hal ini jangan ditiru, Tidak Baik!!!). Namun bukan itu yang kupermasalahkan. Yang menjadi titik kekagumanku adalah saat ia menjawab semua pertanyaanku, yang aku dapatkan bukanlah jawaban dari orang sembarangan. Semua pertanyaanku dijawab dengan bijak dan rapi. Setiap kata yang keluar dari bibirnya sangat padu dengan intonasi dan mimik mukanya. Dan itupun berhasil membuatku merenung atas semua jawabannya. Dan yang paling aku sukai, saat ia memainkan jurus andalannya, yaitu berumpama. Andai ini, andai itu, andai-andainya semua terdengar elok sekali di telingaku. Kata-kata “Hidup ini seperti bersekolah” adalah salah satu karyanya. Tidak pernah terpikir olehku jalan pikirannya akan ke arah itu. Dan sempat ku berkelakar, bahwa ia harusnya jadi pengacara, bukannya jadi penjual Nasi Kuning. Dan kalaupun ia tetap menjadi seorang pedagang Nasi Kuning, mestinya ia menamainya “Nasi Kuning Pengacara”.

Kita dilahirkan oleh Tuhan untuk bekerja. Coba saja, orang yang tidak bekerja untuk beberapa lama akan merasa tidak tenang dalam hidupnya, karena ia menetang peraturan Tuhan. Karena Tuhan menciptakan kita untuk bekerja, maka sepantasnyalah kita bekerja sepanjang hayat, tanpa mengenal kata PENSIUN.
Untuk kata-kata yang satu ini, aku benar-benar trenyuh. Bagaimana tidak, Ayahku sendiri sudah tidak bekerja lagi untuk waktu yang cukup lama. Aku tidak tahu pasti sudah berapa lama Ayahku tidak bekerja lagi, namun yang aku ketahui dengan pasti, ia sudah tidak bekerja semenjak bertahun-tahun pasca berhenti dari Jepang. Sebelum bekerja di Jepang, Ayahku adalah seorang Bartender. Aku benar-benar menyimak kata yang terucap dengan baik dan saksama. Dalam hatiku, semoga aku bisa menerapkan kata-kata ini pada Ayahku.
Sebenarnya aku agak kasihan melihat Ayahku yang harus aku “paksa” untuk bekerja kembali. Namun banyak orang, baik itu keluargaku, teman-temankku sendiri, orangtua temanku dan beberapa orang yang dekat denganku menyesalkan keadaan ini. Mereka mengatakan bahwa Ayahku akan menjadi lebih baik apabila bekerja daripada tidak bekerja. Akupun berpendapat demikian, karena mengutip kata Tulang Alex bahwa kita memang harus bekerja selama kita masih bisa. Namun Ayahku memiliki segenap alasan kuat. Pertama, ia mengatakan bahwa ia sudah terlalu tua, sehingga tidak akan ada lagi perusahaan yang mau menerimanya. Kedua, ia sudah terlalu lemah. Ketiga, Adikku masih kecil dan harus ada yang mengurusinya. Keempat, kelima, keenam, ketujuh dan banyak lagi alasan yang dapat ia lontarkan lagi.
Ini yang aku sesalkan. Bukannya aku ingin memaksakan Ayahku untuk bekerja, namun banyak orang yang kutanyai berpikiran serupa denganku. Mereka, dan tentu saja aku, ingin sekali melhat Ayahku bekerja. Namun Ayahku tampak terlalu asyik larut dalam kepercayaannya, bahwa ia sudah sangat tua dan tidak mampu bekerja lagi. Aku mungkin belum pernah menyarankan Ayahku sendiri untuk bekerja, namun aku tahu, ia pasti menolak. Kata Tulang Alex, orang yang sejenis ini sangat sensitif, gampang marah, cepat tersinggung serta merasa digurui apabila diberi saran untuk bekerja. Jadi aku memilih untuk menunda untuk menyarankannya.
Jika boleh aku jujur, aku sebenarnya sangat terpkul dengan kondisiku seperti ini. Keluargaku kecil, dengan 4 anggota, yaitu Aku; Ayah; Ibu dan Adikku. Di keluarga ini hanya Ibuku saja yang bekerja, sementara aku masih sibuk dengan kuliahku. Sementara ada hutang yang mesti dibayar. Ayahku sudah mewanti-wanti aku untuk segera bekerja, namun aku belum terlalu yakin, apakah aku akan bisa menyelesaikan semuanya, baik bekerja dan kuliahku. Mestinya Ayah yang bekerja, namun kembali lagi karena prinsip “Tua dan Lemah”nya itu, ia tidak bisa bekerja lagi. Bukannya tidak bisa, tapi lebih tepatnya lagi, “Tidak Mau”.
Aku takut dengan masa depan Ayahku. Lihat saja, ia tidak bekerja lagi. Kerjanya hanya diam di rumah, memasak, membenahi rumah, mengurus Adikku dan segala pekerjaan Ibu rumah tangga lainnya. Ayahku bukannya malas, hanya saja pekerjaannya tidak cocok dengannya. Selain itu, belum pernah aku lihat teman atau kerabatnya mampir ke rumah untuk sekadar mengobrol atau minum kopi. Seolah-olah ia sudah “Mati” di dalam hidupnya.
Andai saja Ayahku membaca tulisan ini, ia pasti akan mencariku dan membunuhku. Bayangkan saja, jangankan untuk menyindir Ayahku dengan tulisan ini, berteman dengan orang yang paling bisa menjadi temanku saja aku tidak boleh. Aku bisa bayangkan apabila ia membaca tulisan ini, ia akan marah seolah-olah mengetahui aku menghamili pacarku di luar nikah, dan tidak hanya satu, tapi EMPAT pacar sekaligus..!! Namun itulah yang aku cari. Aku ingin ia marah padaku terlebih dahulu, lalu melampiaskan semua amarahnya padaku sebelum ia marah dan melampiaskan semua kemarahannya pada dirinya sendiri. Aku hanya takut, ia menyesali semua perbuatannya setelah semua ini terjadi. Sebagai anak, aku hanya ingin Ayahku berubah, kembali ke sosok Ayah yang baik. Yang selalu  bersemangat dalam bekerja, bukannya menghindari pekerjaan. yang selalu merasa sanggup melakukan semua sesuatu, bukannya merasa lemah dan tua. Yang memberikan tanggungjawab dan kesempatan belajar pada anak-anaknya, bukannya membatasi anaknya dan membunuh mental mereka. Yang memiliki teman untuk berbagi, bukannya tanpa sahabat satupun yang ada. Aku ingin Ayahku bahagia.
Aku sadar, sisa hidup Ayahku mungkin tidak lama lagi. Untuk itulah, sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya, aku ingin membuatnya merasa menjadi seorang pria yang baik, terutama menjadi sorang Ayah yang baik. Aku ingin Ayahku membuka batinnya, bahwa ia adalah lelaki hebat, bukan lelaki lemah seperti kebanyakan pemikiran orang-orang di sekitarnya. Aku ingin Ayahku membangun mentalku, bukan membunuhnya. Dan pada akhirnya, pada saat akhir hayatnya, yang aku inginkan adalah seorang Ayah yang menutup mata dengan bahagia, dengan sejuta kisah manis yang tertinggal untuk istri dan anak-anaknya, yang terpatri di dalam hati setiap orang bahwa ia adalah lelaki hebat, lelaki tangguh. Dan aku berharap saat ia menutup mata nanti, istri, anak-anak, dan segenap orang di sekitarnya mengikhlaskan Ayahku dengan senyuman dan cerita bangga, bukan dengan gunjingan dan kesan kelam masa lalunya.
Untuk itulah aku ingin menjadi anak yang berguna. Dengan berbekal keyakinan bahwa doa seorang anak yang menginginkan sesuatu yang baik untuk Ayahnya pastilah ditanggapi serius oleh Sang Pencipta, aku ngin membahagiakan hidupnya di saat-saat terakhr. Bukan hanya dengan sebuah rumah mewah, penghasilan melimpah dan mobil yang tumpah ruah, namun dengan kasih sayang seorang anak pada Ayahnya, sebagaimana kasihnya padaku.
Ayah, kini aku berdoa....

Tuhan Yang Baik, bukakanlah hati Ayahku. Aku tidak memaksa Ayahku untuk bekerja kembali, namun aku ingin Kau memberitahunya bahwa ia adalah lelaki hebat. Aku percaya akan Kuasa-Mu yang sanggup membukakan hati Ayahku yang tengah larut dalam masa kelamnya.....
Berikanlah ia sisa waktu yang membahagiakan. Sadarkanlah ia bahwa kebahagiaan terbesar bukanlah materi. Terangkanlah jalannya. Sayangi ia, selayaknya Ayahku menyayangiku. Kasihilah ia, sebagaimana Ayahku mengasihiku......
Tuhan Yang Bijak, aku tahu selama hidupku, aku selalu bersalah pada Ayah. Aku selalu berbohong, berdusta, menyangkal, dan berburuk sangka pada Ayahku. Maafkanlah aku, Tuhan. Namun yang lebih utama bagiku, maaafkanlah semua kekeliruan yang telah ia perbuat. Aku tahu, ia adalah lelaki baik. Maka dari itu, berbaiklah padanya............
Tuhan, biarkan rasa kasihku pada Ayah tak terpampang jelas di pelupuk matanya. Dan pada saatnya nanti, perlihatkanlah rasa kasihku padanya, sehingga ia tahu apa yang aku rasakan........
Dan yang terakhir Tuhan...
Jangan teteskan air matanya apabila rasa kecewa yang ia dapat setelah membaca tulisanku ini, namun boleh Engkau teteskan air matanya apabila rasa haru yang ia dapatkan setelahnya.....

Untukmu Ayah...
Aku menyayangimu...


DENDAM


Kadang hidup kita ini terasa begitu complicated. Aku sendiri, yang notabene masih ingin bersenang-senang di usiaku yang akan menginjak 21 tahun di bulan September ini, malah dibebani masalah yang  benar-benar rumit.
Bayangkan saja, adikku yang sekarang masih berada di kelas IV Sekolah Dasar, menuntut biaya pendidikan yang lebih tinggi. Orangtuaku, hanya Ibu yang bekerja. Sedangkan Ayahku hanya terdiam di rumah selama bertahun-tahun pasca di-PHK dari tempat kerjanya dahulu. Aku benar-benar merasa kelimpungan saat malam ini, saat yang mestinya membahagiakan (mengingat pacarku sedang berulangtahun yang ke-21), malah dibebani beberapa hal yang cukup krodit.
Kamu sekarang menjadi tulang punggung keluarga. Sudah nggak saatnya lagi kamu ikut-ikutan ngeluyur ke sana ke mari dengan teman-temanmu. Kamu harus bisa berpikir cerdas. Di usiamu yang sudah begini, jangan hanya memikirkan kepentinganmu saja. Masih ada kami, orangtuamu dan adikmu yang harus kamu tanggung. Carilah pekerjaan yang dapat menghasilkan banyak uang. Apa kamu nggak malu, melihat rumah kita di kampung masih berantakan? Nanti kalau kamu menikah, malu dong punya rumah yang berantakan seperti itu. Kasihan Ibumu, dia bekerja hanya untuk menghidupi kita. Bantulah ia, jangan hanya keluyuran di tengah malam begini....”
“Kalau kamu masih ikut-ikutan dengan teman-temanmu itu, kamu pasti ketinggalan kereta nantinya. Jadi anak muda, berpikirlah cerdas. Carilah setiap kegiatan yang menghasilkan uang. Teman-temanmu itu, orangtuanya semua bos. Jangan tiru semuanya itu.
Dan segenap kata-kata anjuran, yang lebih mengarah pada paksaan lainnya, mulai mengalir lancar dari bibir seorang Ayah...

Intinya, dapat aku simpulkan bahwa Ayah “memaksaku” untuk bekerja, padahal aku baru saja ingin bermain. Itu jika dilihat dari perspektif seorang anak yang “Kehilangan” masa kecilnya.
Namun di perspektif orangtuaku, aku bisa menangkap penuh isi otak Ayah. Ayah ingin segera “Berhenti” dan melimpahkan “Beban”nya padaku, karena aku telah dewasa.
Semua serba benar, dan semua serba salah. Tergantung dari sudut pandang mana kita memandang. Namun hal ini yang dapat mengubah pola pikirku.
Kau tahu? Setelah mendengarkan ceramah dini hari ini, aku dapat menarik simpulan atas semuanya.
Yap! Aku harus bekerja, mencari uang untuk Ayah, membangun rumah, membeli mobil dan segala aset yang bernilai ekonomis. Hanya itu!
Ayah butuh uang, entah bagaimana caranya! Dan aku tidak terlalu mementingkan sisi material sebuah benda. Memang, setiap orang perlu uang, namun tidak semua masalah dapat terselesaikan dengan uang.
Bisakah kita membeli kebahagiaan dengan Uang? Bisa saja, tapi tidak semua.
Bisakah kita membantu orang dengan Uang? Bisa saja, tapi tidak semua.
Bisakah kita membeli usia dengan Uang? Tentu saja bisa, bisa-bisanya kamu saja.
Itulah akar perbedaan kami, Ayah dan Anak. Anak yang bersifat Idealis dan Ayah yang bersifat Ortodoks. Semua yang beliau lakukan padaku hanya menanamkan konsep “Hidup Lebih Berharga Kalau Kita Kaya Raya”. Aku sangat anti dengan prinsip seperti itu. Siapapun yang menanamkan prinsip itu, baik saudara sendiri atau AYAH sekalipun, akan kuanggap MUSUH! Dan setiap musuhku akan kuberikan Rasa DENDAM!
Dan aku berjanji, DENDAM itu akan kuubah menjadi UANG yang sangat Ayah inginkan! Bahkan di kepalaku sudah ada bayangan bahwa aku akan melamar dua, bahkan tiga pekerjaan sekaligus. Hasilnya, akan kugunakan sebagian untuk hidupku, hidup adikku dan pacarku. Lalu sisanya?
Kuberikan pada Ayah dalam bentuk DENDAM!
Akan kuberikan pada Ayah apa yang Ayah inginkan! Setiap lembarnya akan kuselipkan sedikit rasa DENDAMku. Hingga pada akhirnya, Ayah akan mengetahui bahwa UANG tidak selalu membawa KEBAHAGIAAN.
Terlebih apabila UANG yang diperoleh dibumbui dengan DENDAM seorang anak...
Kalian tahu, apa DENDAMku?
Ayah hanya memberi UANG padaku, tanpa disertai EMOSI layaknya yang harus diberikan orangtua kepada anaknya. Dan aku akan melakukan hal serupa..


Sampai kapan?
Sampai DENDAM ini merasa cukup adil....